Sejarah Desa

Sejarah Singkat Keturunan Keluarga Singawijaya dan Pembentukan Pemerintahan Desa di Kelurahan Gancang dan Kedungurang

1. Awal Keberadaan Singawijaya

Pada periode 1825-1830, Pulau Jawa mengalami Perang Diponegoro, sebuah konflik melawan Belanda yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro. Setelah penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Belanda, para prajuritnya, termasuk keluarga Demang dari Kademangan Gumelem yang dipimpin oleh Demang Singayuda dan Udayana, melarikan diri untuk menghindari penangkapan. Mereka menyebar ke berbagai daerah, termasuk Karangpucung, Ciparos, dan Kedungurang.

Kademangan Gancang kemudian dihapus oleh Belanda dan digantikan menjadi Kelurahan, dengan wilayah yang sama. Gancang dan Kedungurang awalnya merupakan satu kelurahan. Selama masa transisi dari Kademangan menjadi Kelurahan, terjadi banyak kekacauan termasuk pencurian dan perampokan. Bupati Banyumas saat itu, Bupati Nurdaiman, mengadakan sayembara untuk menangkap perampok dan menjanjikan posisi lurah Gancang bagi pemenangnya.

Singawijaya, seorang pemuda yang merupakan putra Demang Singayuda dan bekas prajurit Pangeran Diponegoro, berhasil menangkap perampok dan diangkat sebagai Lurah Gancang pertama. Keberhasilannya membawa keamanan dan kedamaian di wilayah tersebut, dan Singawijaya menjadi sosok yang terkenal dan dihormati di Gancang dan Kedungurang.

2. Masa Pemerintahan Singawijaya

Pada awal pemerintahan Kademangan Gancang, wilayahnya sangat luas, meliputi sembilan dusun: Gancang, Larangan, Cineyang, Munjul, Kedungurang, Petir, Cirangkong, Cimenga, dan Ciwera. Setelah perubahan menjadi Kelurahan, wilayahnya tetap sama dengan Singawijaya sebagai Lurah.

Karena luasnya wilayah, Singawijaya mengangkat adiknya, Singadiwangsa, sebagai Lurah Kedungurang yang pertama. Singadiwangsa mengelola dusun Kedungurang, Petir, dan Cirangkong, sementara dusun Cimenga dan Ciwera tetap berada di bawah Kelurahan Gancang. Singawijaya mengalihkan sebagian bengkok sawahnya kepada Lurah Kedungurang dan mengurangi bengkoknya sendiri. Kedua lurah bekerja sama dengan baik dalam memajukan desa, terutama di bidang pertanian.

Mereka membangun saluran pengairan untuk meningkatkan hasil pertanian. Lurah Gancang membuat saluran dari muara Kali Cimenga melalui Kedungurang hingga Grumbul Tipar dan Grumbul Karang Kemiri, sedangkan Lurah Kedungurang membuat saluran dari Kali Ciwera untuk mengairi pertanian di Kedungurang dan sekitarnya. Saluran-saluran ini dikenal sebagai Wangan Gancang dan Wangan Kedungurang dan masih berfungsi hingga kini.

Singawijaya memiliki empat istri dan enam belas anak. Beliau membangun makam keluarga di Grumbul Tipar, yang kini masih ada dengan cungkup tempat persemayaman Singawijaya dan istri-istrinya. Makam ini juga menerima jenazah masyarakat umum.

Wilayah Kedungurang mengalami perubahan batas yang menyebabkan sebagian wilayahnya menempel di Gancang, dikenal sebagai Kedungurang Tempel.

Pemerintahan Dinasti Singawijaya meninggalkan warisan berharga melalui karya-karya dan proses pembentukan pemerintahan desa, serta fasilitas yang mendukung kehidupan masyarakat.

3. Keturunan Singawijaya dan Status Makam di Grumbul Tipar

Hingga saat ini, keturunan Singawijaya telah mencapai lima generasi penerus. Dengan jumlah yang sangat banyak, hampir seluruh masyarakat Desa Gancang dan Kedungurang adalah keturunan Singawijaya. Oleh karena itu, jika ada yang beranggapan bahwa makam di Grumbul Tipar adalah makam umum desa, hal ini bisa dipahami. Sebagian besar penduduk yang dimakamkan di sana mungkin juga merupakan keturunan Singawijaya, meskipun mereka tidak menyadari hubungan tersebut.

Silsilah Keturunan Singawijaya

Berdasarkan silsilah keturunan Singawijaya yang disusun oleh H.M. Ridwan, ada dua kemungkinan mengenai makam di Grumbul Tipar:

  1. Makam Keturunan Singawijaya
    Semua orang yang dimakamkan di Grumbul Tipar adalah keturunan Singawijaya.

  2. Sebagian Besar Penduduk
    Masyarakat Kelurahan Gancang dan Kedungurang hampir semuanya adalah keturunan Singawijaya. Beberapa alasan yang mendukung hal ini adalah:

    • Sebaran Keturunan
      Cucu dan buyut Singawijaya tersebar hampir di setiap dusun di Kelurahan Gancang dan Kedungurang.

    • Silaturahmi Bani Singawijaya
      Pada tahun 1982, Bani Singawijaya mengadakan silaturahmi di Lapangan Gancang yang dipimpin oleh H.M. Ridwan, dengan jumlah peserta sekitar 4.500 orang dari total penduduk Kelurahan Gancang dan Kedungurang yang sekitar 6.000 orang. Ini menunjukkan bahwa sekitar 70% penduduk merupakan keturunan Singawijaya.

    • Jabatan Lurah
      Walaupun jabatan lurah sejak tahun 1966 dipilih langsung oleh masyarakat, hingga tahun 2005, baik Lurah Gancang maupun Kedungurang yang terpilih masih merupakan keturunan Singawijaya.

    • Makam di Grumbul Tipar
      Adanya cungkup makam Singawijaya bersama empat orang istri dan anak-anaknya. Banyak keturunan Singawijaya dimakamkan di situ meskipun mereka tidak bertempat tinggal di Gancang.

Pengakuan Pemerintah dan Tokoh Masyarakat

  1. Perbaikan Makam oleh Pemerintah

    • Pada tahun 1970, Lurah Kedungurang, Bapak Suwarso, melakukan perbaikan makam Singawijaya bersama masyarakat Kedungurang dan Gancang serta dari daerah lain.
    • Pada tahun 1985, Lurah Gancang, Bapak Sudarmo, juga mengadakan perbaikan dan pemeliharaan makam Singawijaya bersama masyarakat Gancang dan Kedungurang.
  2. Pernyataan Tokoh Masyarakat
    Pada tanggal 22 Maret 2014, tokoh masyarakat Gancang dan Kedungurang menyatakan bahwa makam di Grumbul Tipar adalah makam keluarga keturunan Singawijaya.

  3. Surat Keterangan dari Lurah
    Pada tanggal 26 Maret 2014, Lurah Gancang mengeluarkan surat keterangan bahwa makam di Grumbul Tipar/Dukuh Anyar Desa Gancang adalah makam keluarga Singawijaya. Namun, masyarakat selain keturunan Singawijaya juga diperbolehkan dimakamkan di situ.

Dengan bukti peninggalan seperti makam keluarga Singawijaya, peninggalan karya beliau, serta dokumen pendukung lainnya, tidak diragukan lagi bahwa sejarah keturunan keluarga Singawijaya dan situs di Grumbul Tipar adalah benar adanya. Ini menguatkan keyakinan bahwa kita, masyarakat Gancang dan Kedungurang, adalah bagian dari keluarga besar keturunan Singawijaya dan harus selalu bersatu, rukun, serta menjaga nilai-nilai yang telah diteladani oleh Singawijaya.

Akhir Pemerintahan Singawijaya

Pemerintahan Singawijaya sebagai lurah adalah seumur hidup dan penggantinya adalah putra atau cucu dari lurah yang sedang berkuasa. Beberapa peninggalan dari pemerintahan desa Kedungurang yang masih ada adalah:

  1. Pintu Gerbang Berbentuk Joglo
    • Di depan rumah H. Rohman, bekas kediaman Lurah H. Yusuf.
    • Di depan rumah Alm. H. Safingi, bekas kediaman Lurah H. Tohir.

Pada masa Orde Baru, sejak tahun 1965, jabatan lurah dibatasi hanya lima tahun dan dipilih secara langsung oleh masyarakat. Walaupun pada tahun 1966 lurah dipilih secara langsung, baik Lurah Gancang maupun Lurah Kedungurang yang terpilih hingga kini masih merupakan keturunan Singawijaya.